Setelah berhasil mewawancarai tersangka kasus pembunuhan perantai Verry Idam Henyansyah atau Ryan di Sel Polda Metro Jaya, Jakarta, Jurnalis RADAR MOJOKERTO, JAWA POS Group, Jalaluddin Hambali diancam dan diteror. Berikut ini kronologi selengkapnya:
--------------------------
Kronologi Liputan:
Dari Jombang, Mengantar Keluarga,
Menjenguk Ryan di Tahanan Polda Metro
(16 hinga 18 Agustus 2008)
Bismillah..
Aku kenal dengan Siatun, 58, Achmad Sadikun, 62 dan Mulyo Wasis, 44 saat wawancara di mapolres, beberapa hari pada minggu pertama Agustus. Ketiganya adalah ibu, ayah dan kakak tiri Very Idham Henyansyah alias Ryan, 30. Ryan, Siatun dan Achmad tinggal di rumah di Dusun Maijo Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang Jombang. Wasis, guru SDN di Kecamatan Kesamben, tinggal bersama istri dan anaknya di Dusun Jeruk Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang. Wasis anak tunggal Siatun dari pernikahan perdananya dengan Sahlan. Keduanya berpisah pada tahun 1964, saat Wasis belum genap berusia setahun. Sahlan yang telah menikah lagi, kini tinggal di Kecamatan Bareng, Jombang. Sehari-hari, pagi hingga siang, berada di Pasar Bareng, bekerja sebagai tukang jahit sepatu, sandal dan payung.
Sejak Ryan dinyatakan penyidik polda metro sebagai tersangka pembunuh Heri Santoso pada 14 Juli 2008, orang tua Ryan sering dijadikan nara sumber berita. Ini berlanjut ketika keduanya menginap di Mapolres dan berlanjut di Mapolda Jatim mulai 1 Agustus untuk menjalani pemeriksaan. Saat penggalian 10 korban di belakang rumahnya pada 21 dan 28 Juli, orang tua Ryan belum menjalani pemeriksaan.
Saking seringnya diwawancarai, Siatun, makin ’’melek media’’. Bahwa komentarnya adalah sebuah komoditas yang bernilai bagi pers. Entah siapa yang memulai, pers atau Siatun, pemberian imbalan dalam beberapa kali wawancara akhirnya terjadi berulang kali. Kru TV ada yang memberi imbalan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setelah wawancara.
Saat berada di mapolres, Siatun merasa kesulitan finansial. Tidak punya pendapatan tetap. Satu-satunya sumber pendapatan, uang pensiun suaminya, sebagian besar terserap untuk melunasi angsuran pinjaman di BRI dan BTPN. Nilai sisa pinjaman di kedua bank itu ditaksir sekitar Rp 10 juta. Achmad memasuki purnatugas sebagai tenaga keamanan (satpam) di PG Djombang Baru pada 2005.
Pada 13 Agustus, Ryan diberitakan sakit hingga muntah darah dan harus menjalani rawat inap di RS Polri Kramat Jati. Orang tuanya menyatakan ingin menjenguk Ryan di Jakarta. Orang tua dan Wasis, terakhir kali bertemu Ryan ketika menjalani pemeriksaan di Mapolda Jatim pada 4 Agustus. Saat itu Ryan diboyong ke Jakarta. Orang tua dan kakak Ryan diinapkan di Mapolres Jombang. Keinginan orang tua Ryan itu disampaikan kepada Luluk, perempuan, warga Mojoagung Jombang. Luluk selama ini dikenal sejumlah pekerja pers di Jombang dan Mojokerto sebagai nara sumber informal. Luluk kenal dengan keluarga Ryan karena Wasis pernah berdomisili di Mojoagung. Keduanya pernah bertetangga beberapa tahun.
Luluk lantas menyampaikan kepada saya tentang keinginan itu. Keluarga Ryan tidak punya uang untuk membiayai perjalanan ke Jakarta. Sebagai jurnalis, aku melihat itu kesempatan baik untuk bertemu Ryan. Sebab, selama ini belum ada yang bisa menemui Ryan di tahanan. Tentu, cerita-cerita dari Ryan akan menarik untuk diberitakan, pikirku. Ide itu kusampaikan ke redaktur Jawa Pos dan langsung diiyakan. Kusampaikan pada Luluk, tentang komitmen untuk membiayai perjalanan itu. Bahwa aku akan meliput perjalanan itu. Segala beaya yang timbul selama perjalanan akan ditanggung Jawa Pos. Luluk menyampaikan hal itu kepada keluarga Ryan. Mereka, kata Luluk, sepakat. Kesepakatan itu kubuat melalui pembicaraan melalui ponsel.
16 Agustus lalu, pukul 17.00, kami bertujuh berangkat ke Jakarta. Naik panther, dua sopir menemaniku. Tiga lainnya adalah ortu dan kakak tiri Ryan. Satu lagi, Luluk. Keberangkatan ini diketahui oleh Kasat Reskrim Polres Jombang. Yang bersangkutan ditelepon anggota rombongan kami. Semula, Kasat Reskrim meminta ada anggota polres yang mengawal rombongan. Namun, akhirnya batal.
17 Agustus, pukul 8.00, mobil yang kami tumpangi melaju keluar Tol Cikampek melalui pintu keluar Tol Cawang. Kami menelepon perwira pertama Polda Metro. 28 Juli, orang tua Ryan pernah bertemu dengan kedua penghubung. Dalam pembicaraan melalui ponsel, kami langsung ditanya nama-nama anggota rombongan. Sesampainya di mapolda, pukul 10.00, kami langsung bertemu dengan petugas jasa di Jatanras. Kami diantar seseorang menuju ruang tahanan Narkoba. Dua sopir bertahan di mobil. Kami berlima masuk berbekal surat izin besuk yang telah dibuat. Rombongan kami diberi satu ID Card pembesuk.
Kami disilahkan masuk ke salah satu ruang kantor perwira menengah di dalam tahanan Narkoba. Itu setelah seorang bintara polwan memanggil Ryan melalui pengeras suara. Alat perekam digital kukalungkan didada. Kamera DSLR kucangklong. Satu kamera DSLR pocket ada di tas Luluk. Selama tiga jam berbincang, aku lebih banyak mendengar. Beberapa kali menimpali, ketika Ryan bercerita. Sebab, aku khawatir dia tersinggung. Selama di dalam ruangan, Ryan beberapa kali menghubungi pengacaranya. Menggunakan ponsel Wasis, Luluk dan ponselku. Namun, tidak nyambung. Kami kirim SMS. Minta agar pengacara menghubungi kami jika ponsel telah aktif.
Selama berada di dalam ruangan, petugas jaga berada di luar. Dua kali mereka masuk untuk mengecek kami. Sebentar, sekitar lima menitan, keluar lagi. Ryan mengabarkan telah menunjuk pengacara. Dia juga mengaku telah teken surat perjanjian awal untuk menerbitkan buku, membuat sinetron atau film. Nanti, 10 persen royaltinya untuk keluarga, begitu kata Ryan. ’’Saya ingin membuatkan ibu rumah, dari hasil itu,’’ tambah Ryan. Ryan juga bilang telah minta uang Rp 5 juta ke pengacara untuk uang saku ibunya.
Orang tua Ryan pun ingin tahu kontrak perjanjian itu. Disepakati, malam itu ibu Ryan minta bertemu pengacara untuk meminta surat kontrak. ’’Kami kan ahli warisnya,’’ kata Siatun. Pukul 13.10, bintara jaga masuk ruangan. Dia menginformasikan bahwa jam besuk telah habis. Nanti, kapan-kapan, bisa kesini lagi dengan pengacaranya, begitu kata dia. Sebelum berpisah, Ryan meminta ibunya untuk tinggal di Jakarta sambil menunggu waktu siding. Kata Ryan, pengacara telah menyiapkan tempat tinggal.
Kami berpisah, 10 menit sesudahnya. Kami langsung menuju penginapan, sebuah hotel kecil di daerah Slipi, Jakarta Selatan. Saat menuju hotel, pengacara Ryan menelepon. Kami ditawari penginapan, sebuah tempat tinggal. Tidak sebagus hotel, katanya. Tapi, kami tolak. Sebab, kami belum pernah bertemu dengannya. Kami merasa lebih nyaman beristirahat di hotel.
Semula kami berencana balik ke Jombang pada 18 Agustus, pagi. Namun, pada 17 Agt sore, keinginan itu berubah. Kami ingin balik malam itu juga. Pukul 19.00, dua pengacara Ryan, Kas dan Nyom menemui kami di hotel. Hampir dua jam kami berbincang di restoran hotel itu. Aku mengenalkan diri sebagai keluarga Ryan. Kedua pengacara mengaku tidak tahu dengan kontrak. Mereka bilang, hanya mengurusi masalah hukum. ’’Saya tidak punya uang untuk membayar pengacara,’’ kata Siatun. ’’Kami tidak akan mengirim invoice ke ibu. Percayalah,’’ kata Nyom.
Mereka berjanji akan minta salinan kontrak ke L, seseorang yang mengurus penerbitan buku, pembuatan sinetron atau film. Katanya, investornya dari Singapura. Karena tidak juga diberi, aku berusaha meminta. ’’Itu kan hak keluarga. Apalagi, anda sudah janji kepada Siatun akan menemui di mapolda metro. Tapi, anda tidak datang. Kok nggak meninggalkan pesan sama sekali jika tidak bias datang,’’ kataku. Siatun mengiyakan. Sebelum berangkat, Siatun dan Kas sempat bertelepon melalui ponsel. Siatun menceritakan pada 17 atau 18 Agt dia akan ke Jkt untuk menjenguk Ryan. Siatun tampak kecewa karena selama menjenguk di tahanan, pengacaranya tidak bisa datang tanpa pemberitahuan. Kas menjawab batrei ponselnya drop. Semalaman dia begadang. Lupa mengisi batrei. ’’Setelah subuh saya tidur dan baru bangun siang,’’ aku Kas. Dia minta maaf kepada kami.
Setelah bersalaman dan saling meminta maaf, kami pun berpisah. Sebelum berpisah, kami berikan alamat keluarga Ryan untuk korespondensi. Itu agar salinan surat kontrak dapat dikirim via pos.
Setelah makan malam pukuk 22.30 di KFC Tol Cikampek, kami pulang ke Jombang. Malam itu, aku sempatkan menulis satu berita. Isinya tentang pengakuan Ryan yang membunuh akibat ledakan emosi sesaat. ’’Saya seringkali baru sadar setelah ada mayat di depan. Kadang orang berpikir, mampukah aku menggotong mayat dengan berat badan lebih berat dariku? Nyatanya aku melakukannya,’’ kata Ryan. Itu kutipan langsung dari Ryan yang kujadikan berita.
Materi dan foto kukirim melalui Kantor Indopos di Jakarta. Sampai di Jombang, Senin (18/8) petang, pukul 17.00. Kutuliskan pertemuan keluarga dengan Ryan selama di tahanan. Ada dua tulisan feature yang dimuat di Jawa Pos edisi Selasa (19/8) dan Rabu (20/8). Tulisan itu juga dimuat di Indo Pos. Tulisan pertama tentang cerita Ryan yang tiap malam kini dipijiti tahanan lain. Itu setelah dia mengancam akan membunuh tahanan lain yang dianggapnya menghina Noval, pacarnya. Saat di tahanan bersamanya, tahanan tersebut melontarkan kata-kata,’’ wah bisa dipake gantian nih.’’ Ryan yang emosi langsung mendekatinya sambil mencengkeram krah bajunya sambil berkata: tak bunuh kamu! Semua tahanan, saat itu kata Ryan menunduk. Baju kotor Ryan juga dicucikan teman tahanan lain.
Pk 19.16, 21 Agt, Kas, PH Ryan, kirim SMS ke ponselku. Isinya: Jgn mrs sng n ktw dgn pnymaran anda jd sopir lalu bisa nyusup ked lm rian. Krn itu anda akn dpt mslh. N brt yg anda buat bkn brt mulia mlainkan brt bohong fitnah blk. Seandainya km tau anda wartawan, mk anda tdk dpt injk kaki di jmbg lg mlainkan anda akn gbg rian dlm thnan.
Saya jawab melalui SMS, jika keberatan, ajukan saja. Anda punya hak jawab. Jawa Pos wajib memuatnya.
Hrapan n tgs yg anda jalankan mergkan klein sy n klg, n anda terlalu jauh menekan klg. Kt tim PH tdk akan tnggal diam. Kt sama2 jalankan tgs, tp prfesi kitaberbeda. Anda telah menyrg profs kt n kt tdk trm it.
SMS lainnya: Kt ttp gnkn hak it, tp bkn brati anda dilndng olh uu it.
Saya forward SMS itu ke beberapa teman, termasuk ke redaktur, pemred JP serta Direktur Radar Mojokerto, malam itu juga.
Sekitar pukul 18.30, Sabtu, (30/8) Luluk telepon ke ponsel Achmad. Diterima laki-laki, ngakunya berpangkat mayor. Dia bilang ortu Ryan baik-baik saja dan diinapkan di ShangriLa Sby. Dia juga bilang ingin ketemu dengan Jalal. Luluk bilang, silakan dihubungi ponselnya saja. Nomor Jalal kan ada di memory hp achmad. //Sekitar dua hari sebelumnya saya telepon Siatun melalui ponsel Achmad. Itu setelah dua kali ponselku dpt missed call. Siatun bilang butuh uang karena tidak kerja. Dia berencana ke rumahku. Aku larang, sebab ini urusan kantor. Saya janji suatu saat akan ke rumahnya.//
Sabtu, (30/8) sore, Luluk tahu dari Wasis jika kedua ortu Ryan dibawa polisi ke Surabaya.
Selang 15 menit sesudahnya, Luluk dpt SMS dari ponsel Achmad. Isinya, jangan teror ibunya rian. Semuanya jd sulit krn km bw org yg namanya jalal.
Senin (1/9) pukul 8.05. Ponselku berdering, ditelepon oleh nomor: +62310000007. Selanjutnya, ada missed called dari nomor yang disembunyikan ID-nya. Karena tertidur, aku tidak tahu. (*)
Analisis: ada kemungkinan, setelah 3 tulisan di Koran JP dan Indopos diterbitkan, PH Ryan ditegur oleh Polda Metro. Sebab ada wartawan yang menyamar hingga bisa bertemu Ryan di tahanan. Apalagi, belakangan mencuat pengakuan Ryan tentang identitas Mr X yang dikubur di belakang rumahnya.
Tulisan ini dibuat untuk Jawa Pos dan kawan-kawan AJI.
Agar lebih akurat, tulisan ini patut diricek ke anggota rombongan lain, yang ikut ke Jakarta, 16-18 Agt.
Salam,
Berita Terbaru AJI Surabaya
Punya masukan untuk AJI Surabaya? Undangan, bahkan pengaduan pelanggaran etika anggota AJI Surabaya? Kirimkan melalui email di ajisurabaya@yahoo.com. Atau telp/fax di nomor 031.5035086. Semua masukan, kritik dll akan dimuat di blog ini. Tetap profesional dan independen!
Senin, 01 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Disclaimer
AJI Surabaya adalah organisasi yang berdiri di bawah AJI Indonesia di Jakarta. Organisasi profesi yang berbasis serikat pekerja ini berkonsentrasi pada kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan profesionalitas jurnalis.
:: 2008, Allright reserved by AJI Surabaya
:: 2008, Allright reserved by AJI Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar