Berita Terbaru AJI Surabaya
Punya masukan untuk AJI Surabaya? Undangan, bahkan pengaduan pelanggaran etika anggota AJI Surabaya? Kirimkan melalui email di ajisurabaya@yahoo.com. Atau telp/fax di nomor 031.5035086. Semua masukan, kritik dll akan dimuat di blog ini. Tetap profesional dan independen!
Minggu, 28 September 2008
Selamat Idul Fitri
Dari Gubeng Airlangga 1 no.7 Surabaya, Kami, pengurus AJI Surabaya mengucapkan Selamat Idul Fitri 2008 kepada kawan-kawan jurnalis yang merayakannya. Semoga Idul Fitri tahun ini menjadi awal yang baik bagi kita semua.
Selasa, 23 September 2008
AJI Surabaya Mendukung Demonstrasi Solidaritas Jurnalis Surabaya
AJI Surabaya mendukung aksi solidaritas jurnalis Surabaya dalam kasus pemukulan jurnalis Pangkal Pinang, yang digelar di seberang Gedung Negara Grahadi Surabaya, Selasa (23/09/08). Senada dengan sikap AJI Indonesia, AJI Surabaya mengecam kekerasan kepada jurnalis dengan alasan apapun.
Demonstrasi solidaritas yang berlangsung di Surabaya dilakukan oleh puluhan jurnalis dari berbagai media massa yang ada di Surabaya. Dalam demonstrasi yang berlangsung selama kurang lebih 30 menit dan disertai dengan melepasan ID Card jurnalis itu, demonstran menuntut pelaku penyerangan yang membuat korban babak pelur dan kamera video hilang itu untuk diadili.
Berikut ini kronologi lengkap kasus penyerangan itu, yang ditulis Dandhy Dwi Laksono (AJI):
Salah seorang kontributor RCTI di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, Hengky Muhari,
Sabtu malam (20/9) dikeroyok belasan anggota TNI AL saat sedang meliput aksi
penganiayaan di sebuah SPBU.
Berdasarkan keterangan korban, saat itu Hengky mendengar terjadi kasus
penganiayaan di SPBU dan dia meluncur ke lokasi untuk meliput. Sesampainya di
TKP, ternyata penganiayaan masih terjadi dan yang bersangkutan sempat merekam
kejadian saat belasan tentara menganiaya pegawai SPBU dan seorang satpamnya.
Mereka marah karena salah seorang temannya yang hendak mengisi bensin, diminta
pindah ke tempat pengisian yang lain (masih di lokasi yang sama), karena alatnya
sedang rusak.
Melihat ada wartawan yang mereka aksi brutal mereka, belasan tentara AL itu lalu
beralih mengeroyok Hengky dan merampas kamera beserta isinya. Korban mengaku
dipukuli dan diinjak-injak. Saat ini korban sedang dirawat di RSUD
Tanjungpinang.
Sebelumnya korban mengadukan perkara ini ke polisi tapi oleh polisi diarahkan ke
Polisi Militer AL (Pomal). Di Pomal, korban diarahkan ke Rumah Sakit Angkatan
Laut, namun mereka menyatakan tidak perlu divisum. Karena kebijakan ini janggal,
korban lalu pindah rumah sakit guna mendapatkan visum.
Hingga email ini diposting, siang ini, Pomal rencananya akan menggelar jumpa
pers dan mengklaim sudah menahan 2 pelaku. Tapi camera dan kaset masih
misterius, karena tidak satu pihak pun yang mengaku telah merampasnya.
Ini kejadian kedua dalam sepekan kasus kekerasan dan perampasan. Sebelumnya, di
Timika, koresponden RCTI M Yamin juga mengalami kasus serupa. Kamera dan
kasetnya dirampas, lalu isi rekaman dihapus secara sepihak oleh Brimob Polda
Papua.
Kaset tersebut berisi gambar barang bukti mortir dalam ledakan di areal
penambangan Freeport yang diangkut tim Gegana ke Mako Brimob. Di dalam kaset
yang sama, juga ada rekaman lokasi jalur-jalur ilegal masuk ke areal tambang
Freeport. Jalur ilegal ini digunakan oleh para penambang ilegal untuk mengais
emas di areal penambangan.
Keberadaan para penambang ilegal ini diketahui oleh oknum-oknum aparat keamanan,
bahkan di-bekingi dengan logistik dll, karena diterapkan sistem bagi hasil.
Belum ada pelaku yang dihukum terkait hal tersebut. Kapolda Papua secara pribadi
telah meminta maaf kepada M Yamin, namun tidak ada tindakan hukum kepada para
pelaku.
Menurut UU Pers nomor 40/1999, kedua aksi tersebut bisa dikenai delik pidana.
Pasal 4 menyebut:
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
Pasal 18
Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang
berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).***
Photo by: istimewa
Sabtu, 20 September 2008
AJI Surabaya Menyesalkan Pernyataan Kapolda Jatim
Press Release
Mencermati pernyataan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman S. Sumawiredja dalam wawancara dengan jurnalis di Mapolda Jawa Timur, Jumat (19/09/08) yang menyatakan bahwa kameramen televisi lebih fokus mengambil gambar dari pada memberi pertolongan kepada korban tragedi pembagian zakat di Pasuruan. Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengklarifikasi:
1. Kami ingatkan kembali tugas jurnalis yang tertulis dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 1 dan Pasal 4 tertulis, bahwa wartawan (jurnalis) adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Sementara visi dan misi Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat itu meliputi aspek security, surety, safety dan peace, sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.
AJI Surabaya menyesalkan pernyataan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman S. Sumawiredja yang menyalahkan jurnalis dalam peristiwa itu. AJI Surabaya menilai, kemanusiaan di atas segala-galanya. Dan menjaga nilai kemanusiaan itu bisa dilakukan dengan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing profesi secara profesional. Bila hal itu dilakukan, maka tragedi pembagian zakat di Pasuruan tidak akan terjadi.
Demikian klarifikasi ini.
Hormat Kami
Donny Maulana
Ketua AJI Surabaya
Iman D. Nugroho
Sekretaris I
Mencermati pernyataan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman S. Sumawiredja dalam wawancara dengan jurnalis di Mapolda Jawa Timur, Jumat (19/09/08) yang menyatakan bahwa kameramen televisi lebih fokus mengambil gambar dari pada memberi pertolongan kepada korban tragedi pembagian zakat di Pasuruan. Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mengklarifikasi:
1. Kami ingatkan kembali tugas jurnalis yang tertulis dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Pada Pasal 1 dan Pasal 4 tertulis, bahwa wartawan (jurnalis) adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Sementara visi dan misi Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, Pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera. Perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat itu meliputi aspek security, surety, safety dan peace, sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psykis.
AJI Surabaya menyesalkan pernyataan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol. Herman S. Sumawiredja yang menyalahkan jurnalis dalam peristiwa itu. AJI Surabaya menilai, kemanusiaan di atas segala-galanya. Dan menjaga nilai kemanusiaan itu bisa dilakukan dengan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing profesi secara profesional. Bila hal itu dilakukan, maka tragedi pembagian zakat di Pasuruan tidak akan terjadi.
Demikian klarifikasi ini.
Hormat Kami
Donny Maulana
Ketua AJI Surabaya
Iman D. Nugroho
Sekretaris I
Jumat, 19 September 2008
AJI Surabaya Mencermati Statemen Kapolda Jatim
Iman D. Nugroho
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mencermati statemen Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman Suryadi Sumaredja yang mengkritik jurnalis televisi dalam kasus meninggalnya 21 orang calon penerima zakat di pasuruan, Jawa Timur. Dalam berita yang dimuat oleh www.beritajatim.com itu, Herman menyalahkan jurnalis yang dianggap lebih mementingkan mengambil gambar, ketimbang menolong korban.
"AJI Surabaya mencermati komentar Kapolda Jatim, kita akan melihat lebih jauh, apakah statemen itu masuk ke dalam kritikan biasa polisi kepada profesi jurnalis, atau sudah masuk kepada pengkambinghitaman jurnalis dalam kasus Pasuruan," kata Kukuh S. Wibowo, Divisi Etik Profesi AJI Surabaya.
Seperti diberitakan www.beritajatim.com, Kapolda Jatim selain mengakui kesalahan anggotanya juga memberikan kritik kepada jurnalis yang meliput tragedi tewasnya 21 ibu-ibu di rumah H Syaikhon Pasuruan. Pasalnya saat kejadian tersebut wartawan yang meliput kurang tanggap kedtika ada sejumlah warga yang terdesak dan terengah-engah di tengah kerumunan masih saja disorot kamera.
"Saya lihat di televisi banyak masyarakat yang tidak tanggap, jika keadaan seperti itu, seharusnya pagar pembatas harus dijebol, tak hanya masyarakat, kameramen pengambil gambar pun terlihat lebih mementingkan gambarnya daripada menolong orang," tandas Irjen Pol Herman Suryadi Sumaredja usai shalat Jumat di Masjid komplek Mapolda Jatim, Jumat (19/09/2008).
Statemen itu memunculkan komentar keras dalam mailing list jurnalis atau mailing list yang concern pada persoalan media. Karena itulah AJI Surabaya memandang perlu untuk menegaskan sikap atas statemen Kapolda itu. Dalam salah satu artikel yang dimuat di Harian Surya diceritakan adanya upaya jurnalis untuk menolong korban salam peristiwa itu.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya mencermati statemen Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Herman Suryadi Sumaredja yang mengkritik jurnalis televisi dalam kasus meninggalnya 21 orang calon penerima zakat di pasuruan, Jawa Timur. Dalam berita yang dimuat oleh www.beritajatim.com itu, Herman menyalahkan jurnalis yang dianggap lebih mementingkan mengambil gambar, ketimbang menolong korban.
"AJI Surabaya mencermati komentar Kapolda Jatim, kita akan melihat lebih jauh, apakah statemen itu masuk ke dalam kritikan biasa polisi kepada profesi jurnalis, atau sudah masuk kepada pengkambinghitaman jurnalis dalam kasus Pasuruan," kata Kukuh S. Wibowo, Divisi Etik Profesi AJI Surabaya.
Seperti diberitakan www.beritajatim.com, Kapolda Jatim selain mengakui kesalahan anggotanya juga memberikan kritik kepada jurnalis yang meliput tragedi tewasnya 21 ibu-ibu di rumah H Syaikhon Pasuruan. Pasalnya saat kejadian tersebut wartawan yang meliput kurang tanggap kedtika ada sejumlah warga yang terdesak dan terengah-engah di tengah kerumunan masih saja disorot kamera.
"Saya lihat di televisi banyak masyarakat yang tidak tanggap, jika keadaan seperti itu, seharusnya pagar pembatas harus dijebol, tak hanya masyarakat, kameramen pengambil gambar pun terlihat lebih mementingkan gambarnya daripada menolong orang," tandas Irjen Pol Herman Suryadi Sumaredja usai shalat Jumat di Masjid komplek Mapolda Jatim, Jumat (19/09/2008).
Statemen itu memunculkan komentar keras dalam mailing list jurnalis atau mailing list yang concern pada persoalan media. Karena itulah AJI Surabaya memandang perlu untuk menegaskan sikap atas statemen Kapolda itu. Dalam salah satu artikel yang dimuat di Harian Surya diceritakan adanya upaya jurnalis untuk menolong korban salam peristiwa itu.
Kamis, 18 September 2008
Demi THR, Wartawan Jember Bikin Ulah
www.beritajatim.com/Kamis, 18/09/2008 18:09 WIB
Minta Jatah THR, Pemkab Diserbu 'Wartawan dan LSM'
Reporter : Heru Nugroho
Jember – Memasuki pertengahan bulan ramadhan dan mendekati hari raya Idul Fitri, semua institusi atau unit kerja di jajaran Pemkab Jember mulai diserbu 'wartawan dan LSM'. Pemandangan tersebut bisa terlihat setiap hari di kantor-kantor unit kerja.
Bahkan jumlahnya meningkat tajam dari hari ke hari. Ironisnya dari oknum-oknum yang mengaku wartawan dan LSM tersebut kebanyakan bukan warga Jember. Pasalnya wajah-wajah oknum-oknum tersebut masih asing dimata wartawan dan LSM Jember.
Kebanyakan oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan dan LSM tersebut datang berombongan, dengan jumlah kisaran 8 sampai 20 orang, bahkan bisa lebih dari itu. Modusnya, para oknum tadi mendatangi pejabat-pejabat yang dianggap mempunyai posisi basah, seperti Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Bagian, Pimpinan Proyek (Pimpro), bendahara proyek dan lainnya.
Ujung-ujungnya mereka meminta jatah sejumlah rupiah untuk THR. Pantauan beritajatim.com pemandangan tersebut juga terlihat pada hari Kamis ( 18/9/2008 ) di sejumlah unit kerja, seperti Perhutani dan sejumlah unit kerja.
Hal ini sangat meresahkan pejabat yang didatangi. Pasalnya para pejabat rata-rata tidak mengenal satu persatu oknum yang datang tersebut. Seperti disampaikan Kadispenda Pemkab Jember, Drs. H. Suprapto.
"Masak hampir setiap hari ada yang datang rombongan 10, 15 orang masuk ruang kerja saya, padahal saya nggak ada yang kenal mereka itu siapa, tetapi sok kenal dengan saya," sesalnya.
Dirinya mengaku kebingungan menghadapi rombongan seperti itu, sehingga sulit mengambil tindakan. "Mau diusir itu gimana, mau saya terima ya tidak ada yang kenal, ya terpaksa saya temui sebentar dan ujungnya yang minta itu (uang)," tuturnya.
Demikian juga disampaikan sejumlah pejabat di Pemkab, para pejabat mengaku kewalahan menghadapi hal tersebut. "Ini belum seberapa, kalau sudah dekat hari raya semakin banyak jumlahnya, pengalaman tahun lalu bisa mencapai ratusan dan datang dari berbagai kota," ujar Humas Infokom, Drs. Giat Tarigan.
Tarigan selaku Humas Pemkab Jember menyesalkan hal tersebut, apalagi selama ini pihaknya sudah mendapat himbauan dari organisasi wartawan dan redaksi masing-masing media untuk tidak menyediakan THR.
"Kalau setiap hari liputan di Pemkab mungkin kita tahu dan tidak keberatan, tetapi ini nggak ada yang kenal, dan yang memalukan kalau ada buka puasa dengan Bupati, semakin banyak yang datang," sesalnya.
Sebelumnya Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jember, Mahbub Djunaedi, sudah menegaskan dan berkirim surat kepada semua instansi di lingkungan Pemkab Jember untuk tidak menyediakan THR kepada wartawan. [her/kun]
Minta Jatah THR, Pemkab Diserbu 'Wartawan dan LSM'
Reporter : Heru Nugroho
Jember – Memasuki pertengahan bulan ramadhan dan mendekati hari raya Idul Fitri, semua institusi atau unit kerja di jajaran Pemkab Jember mulai diserbu 'wartawan dan LSM'. Pemandangan tersebut bisa terlihat setiap hari di kantor-kantor unit kerja.
Bahkan jumlahnya meningkat tajam dari hari ke hari. Ironisnya dari oknum-oknum yang mengaku wartawan dan LSM tersebut kebanyakan bukan warga Jember. Pasalnya wajah-wajah oknum-oknum tersebut masih asing dimata wartawan dan LSM Jember.
Kebanyakan oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan dan LSM tersebut datang berombongan, dengan jumlah kisaran 8 sampai 20 orang, bahkan bisa lebih dari itu. Modusnya, para oknum tadi mendatangi pejabat-pejabat yang dianggap mempunyai posisi basah, seperti Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Bagian, Pimpinan Proyek (Pimpro), bendahara proyek dan lainnya.
Ujung-ujungnya mereka meminta jatah sejumlah rupiah untuk THR. Pantauan beritajatim.com pemandangan tersebut juga terlihat pada hari Kamis ( 18/9/2008 ) di sejumlah unit kerja, seperti Perhutani dan sejumlah unit kerja.
Hal ini sangat meresahkan pejabat yang didatangi. Pasalnya para pejabat rata-rata tidak mengenal satu persatu oknum yang datang tersebut. Seperti disampaikan Kadispenda Pemkab Jember, Drs. H. Suprapto.
"Masak hampir setiap hari ada yang datang rombongan 10, 15 orang masuk ruang kerja saya, padahal saya nggak ada yang kenal mereka itu siapa, tetapi sok kenal dengan saya," sesalnya.
Dirinya mengaku kebingungan menghadapi rombongan seperti itu, sehingga sulit mengambil tindakan. "Mau diusir itu gimana, mau saya terima ya tidak ada yang kenal, ya terpaksa saya temui sebentar dan ujungnya yang minta itu (uang)," tuturnya.
Demikian juga disampaikan sejumlah pejabat di Pemkab, para pejabat mengaku kewalahan menghadapi hal tersebut. "Ini belum seberapa, kalau sudah dekat hari raya semakin banyak jumlahnya, pengalaman tahun lalu bisa mencapai ratusan dan datang dari berbagai kota," ujar Humas Infokom, Drs. Giat Tarigan.
Tarigan selaku Humas Pemkab Jember menyesalkan hal tersebut, apalagi selama ini pihaknya sudah mendapat himbauan dari organisasi wartawan dan redaksi masing-masing media untuk tidak menyediakan THR.
"Kalau setiap hari liputan di Pemkab mungkin kita tahu dan tidak keberatan, tetapi ini nggak ada yang kenal, dan yang memalukan kalau ada buka puasa dengan Bupati, semakin banyak yang datang," sesalnya.
Sebelumnya Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Jember, Mahbub Djunaedi, sudah menegaskan dan berkirim surat kepada semua instansi di lingkungan Pemkab Jember untuk tidak menyediakan THR kepada wartawan. [her/kun]
Rabu, 17 September 2008
SERUAN TUNJANGAN HARI RAYA (THR) PADA JURNALIS
Press Release
Surabaya, 17 September 2008
Kepada Yth:
Pimpinan Media Massa
di Tempat
Dengan hormat,
AJI Surabaya menghimbau kepada pengelola media massa, baik cetak dan elektronik untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis. Pemberian THR kepada jurnalis yang merupakan buruh dalam perusahaan media massa, terikat Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) no.4 tahun 1994 yang mengatur pemberian THR sebanyak satu bulan gaji dalam hari besar keagamaan, minimal tujuh hari sebelum hari raya.
Pemberian THR sekaligus merupakan upaya untuk menghindarkan jurnalis dalam praktek suap yang seringkali terjadi menjelang Hari Raya. Pemberian suap kepada jurnalis adalah tindakan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), terutama pasal Pasal 6 yang tertulis Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran dari pasal itu adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum dan segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Ketaatan jurnalis kepada KEJ diatur dalam UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers, utamanya Pasal 7 yang tertulis Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
AJI Surabaya sekaligus menghimbau nara sumber untuk tidak memberi apapun kepada jurnalis, termasuk THR. Dan melaporkan kepada aparat Kepolisian, jika terjadi tindakan pemerasan oleh jurnalis kepada nara sumber dengan alasan apapun.
AJI Surabaya juga menghimbau kepada jurnalis untuk menolak pemberian suap dalam bentuk apapun dari nara sumber, dengan alasan pemberian THR.
Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami
Ketua AJI Surabaya
Donny Maulana
Sekretaris I AJI Surabaya
Iman D. Nugroho
Surabaya, 17 September 2008
Kepada Yth:
Pimpinan Media Massa
di Tempat
Dengan hormat,
AJI Surabaya menghimbau kepada pengelola media massa, baik cetak dan elektronik untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis. Pemberian THR kepada jurnalis yang merupakan buruh dalam perusahaan media massa, terikat Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) no.4 tahun 1994 yang mengatur pemberian THR sebanyak satu bulan gaji dalam hari besar keagamaan, minimal tujuh hari sebelum hari raya.
Pemberian THR sekaligus merupakan upaya untuk menghindarkan jurnalis dalam praktek suap yang seringkali terjadi menjelang Hari Raya. Pemberian suap kepada jurnalis adalah tindakan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ), terutama pasal Pasal 6 yang tertulis Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran dari pasal itu adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum dan segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Ketaatan jurnalis kepada KEJ diatur dalam UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers, utamanya Pasal 7 yang tertulis Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
AJI Surabaya sekaligus menghimbau nara sumber untuk tidak memberi apapun kepada jurnalis, termasuk THR. Dan melaporkan kepada aparat Kepolisian, jika terjadi tindakan pemerasan oleh jurnalis kepada nara sumber dengan alasan apapun.
AJI Surabaya juga menghimbau kepada jurnalis untuk menolak pemberian suap dalam bentuk apapun dari nara sumber, dengan alasan pemberian THR.
Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Kami
Ketua AJI Surabaya
Donny Maulana
Sekretaris I AJI Surabaya
Iman D. Nugroho
Kamis, 11 September 2008
AJI Surabaya di Detiksurabaya.com
Kamis, 11/09/2008 12:12 WIB
Buntut Skorsing
Konflik Jurnalis dengan Manajemen SS Media Kian Panas
Budi Sugiharto - detikSurabaya
Surabaya - Sanksi skorsing sejak 19 Juli 2008 hingga sekarang dari perusahaan yang dialami Hendro D. Laksono, Chief Editor Majalah Mossaik milik Suara Surabaya Media (SS Media) kian memanas.
Merasa didzolimi, Hendro pun berusaha melawan manajemen SS Media dengan dibackup AJI dan LBH Surabaya. Kasus sengketa ini oleh SS Media sudah diserahkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya. Namun Hendro menolak upaya itu. Dia lebih menginginkan diselesaikan secara bipartit, antara dirinya dengan manajemen SS Media.
Perundingan bipartit antara Manajemen SS Media dengan Hendro D. Laksono untuk kedua kalinya kembali digelar pada Rabu (10/9/2008). Hendro dalam perundingan itu didampingi oleh Iman D. Nugroho, Sekretaris 1 AJI Surabaya dan SS Media diwakili Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah.
Menurut Hendro, pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Menurut Hendro, manajemen SS Media tetap menuduhnya telah melakukan pelanggaran berat dan pantas untuk di-PHK. "Saya hanya ingin tahu penjelasan SS mengenai alasan sanksi skorsing sebenarnya apa. Selama ini kan penjelasannya kan selalu gonta-ganti," tegas Hendro yang dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (11/9/2008).
Menurut Hendro, dirinya dituding telah melakukan aktivitas bisnis lain yang bertabrakan dengan core bisnis PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya atau Suara Surabaya Media. Alasan dari pihak SS Media dianggap Hendro tergolong aneh.
Keanehan pertama menurut dia adalah tudingan pelanggaran berat yang dituduhkan. Hendro merasa tudingan itu tidak terdifinisi dengan pasti. Termasuk jenis media apa yang pernah diterbitkan dan dianggap bertabrakan dengan core business SS Media.
Karena menurut Hendro, dalam sejarahnya, PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya yang mengudara sejak 11 Juni 1983 ini dalam perkembangannya hanya melebarkan sayap pada dunia broadcasting dan online semata.
"Kalau toh ada media massa jenis cetak, bernama Majalah Mossaik, sudah berhenti terbit pada pertengahan 2006. Dan waktu itu saya juga meminta kejelasan status saya, tapi tidak ada jawaban," tegas Hendro.
Dalam pertemuan kemarin itu, kata Hendro, dirinya tetap mendesak manajemen yang diwakili Romi untuk menjelaskan kesalahan yang telah dilakukan sehingga diberikan sanksi skorsing dan akhirnya di PHK itu.
Namun, lanjut Hendro, Romi tak bisa menjelaskan secara pasti kecuali hanya mengatakan jika keputusan manajemen sudah bulat bahwa dirinya telah melakukan pelanggaran berat.
"Semua harus dilakukan secara prosedural dan afair. Dengan upaya yang saya lakukan ini, saya berharap agar SS bisa menghargai karyawannya," terang dia yang mengaku sedang mengajar di Stikosa-AWS ini.
Sementara pihak SS Media yang dikonfirmasi tidak membuahkan hasil. Berkali-kali dihubungi telepon seluler Romi Febriansyah tidak aktif.(gik/gik)
Kamis, 11/09/2008 13:36 WIB
Kena Skorsing, Desainer 'SS Media' Juga Melawan
Budi Sugiharto - detikSurabaya
Surabaya - Sanksi skorsing tak hanya dialami Chief Editor Majalah Mossaik, Hendro D Laksono. Namun, desain grafis Mossaik Communication (M COMM) di bawah naungan Suara Surabaya Media (SS Media) Adam Tri Nuryanto juga senasib. Dia skorsing dengan tudingan memiliki pekerjaan sampingan yang sesuai dengan core bisnis perusahaan.
Adam adalah awalnya bekerja sebagai desain grafis di Majalah Mossaik. Namun karena majalah tersebut mati, akhirnya dialihkan ke dalam bisnis penggantinya yaitu M Comm.
Spesialis desain ini menerima skorsing sejak tanggal 18 Juli 2008. "Sampai sekarang masih diskorsing. Sudah dua kali diperpanjang. Yang terakhir ini ada surat resminya," kata Adam yang dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (11/9/2008) siang.
Menurut dia, skorsing yang pertama kali diterimanya itu disampaikan secara lisan oleh Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah. Alasannya kata Adam, dituduh telah melakukan pekerjaan yang bersinggungan dengan bisnis M Com. Alasan itu karena di komputer tempat biasa Adam bekerja ditemukan file-file disain yang diluar kepentingan M Comm.
"Saya akui memang ada file desain lain di komputer kantor. Tapi itu file memang hasil copy dari laptop saya. Saya pindah ke komputer kantor memang untuk finishing saja," terang Adam.
Namun Adam membantah jika pekerjaan sampingannya itu dianggap telah mengganggu tugasnya di M Comm. "Sama sekali tidak. Tidak pernah ada catatan saya tidak mengerjakan tugas tak sesuai jadwal," tegasnya.
Semenjak Majalah Mossaik tutup, kata Adam, M Comm mengerjakan majalah East Java Traveller (tutup juga), Surabaya City Guide dan menerima pengerjaan majalah Halo milik Telkomsel. "Majalah itu kan terbitnya ada yang satu bulan sekali dan dua bulan sekali. Jadi waktu luang saya banyak, sekali lagi saya tidak pernah menggarap disain lain di kantor," katanya.
Adam sendiri kaget ketika tiba-tiba, Romi memberikan sanksi skorsing tanpa ada peringatan dahulu. "Mestinya kan secara prosedur ada surat peringatan dan lain-lainnya," keluh Adam.
Karena tidak terima dengan skorsing tanpa ada alasan yang jelas itu, seperti halnya Hendro, Adam juga meminta bantuan AJI dan LBH Surabaya untuk ikut membackup perjuangannhya melawan ketidakadilan ltu.
"Saya sudah minta bantuan AJI dan LBH. Saya tidak tahu ke depan seperti apa namun yang pasti kalau pun toh nantinya ada PHK hendaknya dilakukan secara prosedural dan transparansi," ungkap dia.
Sedangkan Romi Febriansyah tidak bisa dihubungi, ponselnya non aktif.
tidak aktif.
(gik/gik)
Buntut Skorsing
Konflik Jurnalis dengan Manajemen SS Media Kian Panas
Budi Sugiharto - detikSurabaya
Surabaya - Sanksi skorsing sejak 19 Juli 2008 hingga sekarang dari perusahaan yang dialami Hendro D. Laksono, Chief Editor Majalah Mossaik milik Suara Surabaya Media (SS Media) kian memanas.
Merasa didzolimi, Hendro pun berusaha melawan manajemen SS Media dengan dibackup AJI dan LBH Surabaya. Kasus sengketa ini oleh SS Media sudah diserahkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya. Namun Hendro menolak upaya itu. Dia lebih menginginkan diselesaikan secara bipartit, antara dirinya dengan manajemen SS Media.
Perundingan bipartit antara Manajemen SS Media dengan Hendro D. Laksono untuk kedua kalinya kembali digelar pada Rabu (10/9/2008). Hendro dalam perundingan itu didampingi oleh Iman D. Nugroho, Sekretaris 1 AJI Surabaya dan SS Media diwakili Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah.
Menurut Hendro, pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Menurut Hendro, manajemen SS Media tetap menuduhnya telah melakukan pelanggaran berat dan pantas untuk di-PHK. "Saya hanya ingin tahu penjelasan SS mengenai alasan sanksi skorsing sebenarnya apa. Selama ini kan penjelasannya kan selalu gonta-ganti," tegas Hendro yang dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (11/9/2008).
Menurut Hendro, dirinya dituding telah melakukan aktivitas bisnis lain yang bertabrakan dengan core bisnis PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya atau Suara Surabaya Media. Alasan dari pihak SS Media dianggap Hendro tergolong aneh.
Keanehan pertama menurut dia adalah tudingan pelanggaran berat yang dituduhkan. Hendro merasa tudingan itu tidak terdifinisi dengan pasti. Termasuk jenis media apa yang pernah diterbitkan dan dianggap bertabrakan dengan core business SS Media.
Karena menurut Hendro, dalam sejarahnya, PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya yang mengudara sejak 11 Juni 1983 ini dalam perkembangannya hanya melebarkan sayap pada dunia broadcasting dan online semata.
"Kalau toh ada media massa jenis cetak, bernama Majalah Mossaik, sudah berhenti terbit pada pertengahan 2006. Dan waktu itu saya juga meminta kejelasan status saya, tapi tidak ada jawaban," tegas Hendro.
Dalam pertemuan kemarin itu, kata Hendro, dirinya tetap mendesak manajemen yang diwakili Romi untuk menjelaskan kesalahan yang telah dilakukan sehingga diberikan sanksi skorsing dan akhirnya di PHK itu.
Namun, lanjut Hendro, Romi tak bisa menjelaskan secara pasti kecuali hanya mengatakan jika keputusan manajemen sudah bulat bahwa dirinya telah melakukan pelanggaran berat.
"Semua harus dilakukan secara prosedural dan afair. Dengan upaya yang saya lakukan ini, saya berharap agar SS bisa menghargai karyawannya," terang dia yang mengaku sedang mengajar di Stikosa-AWS ini.
Sementara pihak SS Media yang dikonfirmasi tidak membuahkan hasil. Berkali-kali dihubungi telepon seluler Romi Febriansyah tidak aktif.(gik/gik)
Kamis, 11/09/2008 13:36 WIB
Kena Skorsing, Desainer 'SS Media' Juga Melawan
Budi Sugiharto - detikSurabaya
Surabaya - Sanksi skorsing tak hanya dialami Chief Editor Majalah Mossaik, Hendro D Laksono. Namun, desain grafis Mossaik Communication (M COMM) di bawah naungan Suara Surabaya Media (SS Media) Adam Tri Nuryanto juga senasib. Dia skorsing dengan tudingan memiliki pekerjaan sampingan yang sesuai dengan core bisnis perusahaan.
Adam adalah awalnya bekerja sebagai desain grafis di Majalah Mossaik. Namun karena majalah tersebut mati, akhirnya dialihkan ke dalam bisnis penggantinya yaitu M Comm.
Spesialis desain ini menerima skorsing sejak tanggal 18 Juli 2008. "Sampai sekarang masih diskorsing. Sudah dua kali diperpanjang. Yang terakhir ini ada surat resminya," kata Adam yang dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (11/9/2008) siang.
Menurut dia, skorsing yang pertama kali diterimanya itu disampaikan secara lisan oleh Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah. Alasannya kata Adam, dituduh telah melakukan pekerjaan yang bersinggungan dengan bisnis M Com. Alasan itu karena di komputer tempat biasa Adam bekerja ditemukan file-file disain yang diluar kepentingan M Comm.
"Saya akui memang ada file desain lain di komputer kantor. Tapi itu file memang hasil copy dari laptop saya. Saya pindah ke komputer kantor memang untuk finishing saja," terang Adam.
Namun Adam membantah jika pekerjaan sampingannya itu dianggap telah mengganggu tugasnya di M Comm. "Sama sekali tidak. Tidak pernah ada catatan saya tidak mengerjakan tugas tak sesuai jadwal," tegasnya.
Semenjak Majalah Mossaik tutup, kata Adam, M Comm mengerjakan majalah East Java Traveller (tutup juga), Surabaya City Guide dan menerima pengerjaan majalah Halo milik Telkomsel. "Majalah itu kan terbitnya ada yang satu bulan sekali dan dua bulan sekali. Jadi waktu luang saya banyak, sekali lagi saya tidak pernah menggarap disain lain di kantor," katanya.
Adam sendiri kaget ketika tiba-tiba, Romi memberikan sanksi skorsing tanpa ada peringatan dahulu. "Mestinya kan secara prosedur ada surat peringatan dan lain-lainnya," keluh Adam.
Karena tidak terima dengan skorsing tanpa ada alasan yang jelas itu, seperti halnya Hendro, Adam juga meminta bantuan AJI dan LBH Surabaya untuk ikut membackup perjuangannhya melawan ketidakadilan ltu.
"Saya sudah minta bantuan AJI dan LBH. Saya tidak tahu ke depan seperti apa namun yang pasti kalau pun toh nantinya ada PHK hendaknya dilakukan secara prosedural dan transparansi," ungkap dia.
Sedangkan Romi Febriansyah tidak bisa dihubungi, ponselnya non aktif.
tidak aktif.
(gik/gik)
Rabu, 10 September 2008
Turut Berduka Cita Atas Meninggalnya Anshari Thayib
Anshari Thayib, 1947-2008
naskah dan photo: Iman D. Nugroho
Segenap pengurus dan anggota AJI Surabaya ikut berduka cita atas meninggalnya Anshari Thayib, tokoh pers Jawa Timur, mantan wartawan Harian Surya, Mantan Ketua PWI Jawa Timur dan Anggota Komnas HAM.
Anshari Thayib adalah salah satu putra terbaik kelahiran Kediri tahun 1947. Sosok yang selama menjadi wartawan dikenal dengan tulisan yang religius dengan tokoh bernama Kyai Siasat ini meninggal dunia akibat sakit kanker getah bening yang dideritanya. Saat penyakit itu mulai mengganggu, Anshari dirawat di Graha Amerta RSU Dr. Soetomo Surabaya hingga akhirnya meninggal dunia, Rabu malam ini.
Kekyaian Anshari semakin terasah saat bapak dua anak ini aktif menjadi salah satu penyuport Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 2004 itu berkarir untuk terakhir kalinya sebagai anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan sempat ambil bagian dalam investigasi kasus semburan lumpur Lapindo di Porong.
Dalam dunia jurnalistik, Anshari tercatat menjadi wartawan untuk pertama kalinya di Harian Pagi Sinar Harapan pada 1970-an. Saat Majalah Tempo membutuhkan koresponden Jawa Timur, Anshari ikut bergabung hingga akhir tahun 1977. Harian Surya menjadi "persinggahan" jurnalistik pria berperawakan kalem ini dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Litbang dan kreator Kyai Siasat.
Selamat jalan Pak Anshari,..
Perundingan Bipartit 2 Berakhir Buntu
Press Release AJI Surabaya
Perundingan Bipartit 2 antara Manajemen Suara Surabaya Media dengan Hendro D. Laksono, dalam kasus sengketa perburuhan, berakhir tanpa keputusan apa-apa alias buntu. Manajemen Suara Surabaya Media tetap menuduh Hendro telah melakukan “kesalahan berat” dan pantas untuk di-PHK. Sementara Hendro merasa tuduhan itu tidak jelas.
Dalam pertemuan itu, Manajemen Suara Surabaya Media yang diwakili Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah kembali menegaskan bahwa Hendro telah terindikasi melakukan aktifitas lain yang bertabrakan dengan core bisnis PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya atau Suara Surabaya Media. “Hendro punya usaha sejak tahun 2002, sebelum masuk SS, dan itu kami (manajemen SS) anggap sebagai kesalahan berat,” kata Romi. Karena itulah, Manajemen SS Media mengangap Hendro layak untuk di-PHK atau mengundurkan diri dari jabatannya.
Hendro yang dalam perundingan itu didampingi oleh Iman D. Nugroho, Sekretaris 1 AJI Surabaya hanya tersenyum, sembari meminta Romi menjelaskan apa definisi kesalahan berat yang bertabrakan dengan core bisnis SS Media itu. “Apa saya membuat lembaga broadcasting baru, karena secara legal formal, core bisnis SS Media adalah radio Suara Surabaya?” tanya Hendro. Romi tergagap. “Bukan itu, tapi lembaga penerbitan,” jawab Romi sembari menjelaskan bahwa keputusan itu diambil setelah tiga direksi SS Media, Errol Jonathans, Wahyu Widodo, Gati Irawarman, Herru Sholeh dan Romi sendiri.
Jawaban ini tergolong “aneh”. Keanehan pertama adalah “pelanggaran berat” yang dituduhkan ke Hendro tidak terdifinisi dengan pasti. Termasuk jenis media apa yang pernah diterbitkan dan dianggap bertabrakan dengan core business SS Media. Apalagi dalam sejarahnya, PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya yang mengudara sejak 11 Juni 1983 ini dalam perkembangannya “hanya” melebarkan sayap pada dunia broadcasting dan online (SuaraSurabaya.net) semata. Kalau toh ada media massa jenis cetak, bernama Majalah Mossaik, sudah berhenti terbit pada pertengahan 2006.
“Pertanyaan saya belum terjawab, mana core business yang saya langgar? Apakah saya punya radio baru, atau punya radio dengan portal berita baru atau mendirikan majalah seperti Mossaik?” tanya Hendro. Lagi-lagi Romi tergagap. Romi tetap bersikukuh bahwa “pelanggaran berat”, sesuai keputusan direksi SS Media telah terindikasi dilakukan Hendro. “Mungkin kita berbeda persepsi, karena itulah SS Media membawa kasus ini ke Disnaker Surabaya,” jelasnya.
Sementara itu, Iman D. Nugroho yang diberi kesempatan bicara menekankan adanya penyelesaian yang adil dalam kasus SS Media –Hendro D. Laksono. Iman menyayangkan ketidakhadiran dua direktur lain yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah ini. “Kalau Direktur Operasional Errol Jonathans dan Direktur Marketing Wahyu Widodo bahkan Direktur Utama Sutojo Soekomihardjo hadir, mungkin persoalannya jadi lebih cepat menemukan solusi,” kata Iman.***
Kontak Person:
1. Iman D. Nugroho (081.334.075.034)
2. Athoillah (081.7960.8037)
Recorfirm SS Media:
Romi Febriansyah (0855.300.85.00)
Perundingan Bipartit 2 antara Manajemen Suara Surabaya Media dengan Hendro D. Laksono, dalam kasus sengketa perburuhan, berakhir tanpa keputusan apa-apa alias buntu. Manajemen Suara Surabaya Media tetap menuduh Hendro telah melakukan “kesalahan berat” dan pantas untuk di-PHK. Sementara Hendro merasa tuduhan itu tidak jelas.
Dalam pertemuan itu, Manajemen Suara Surabaya Media yang diwakili Direktur Umum dan Keuangan Romi Febriansyah kembali menegaskan bahwa Hendro telah terindikasi melakukan aktifitas lain yang bertabrakan dengan core bisnis PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya atau Suara Surabaya Media. “Hendro punya usaha sejak tahun 2002, sebelum masuk SS, dan itu kami (manajemen SS) anggap sebagai kesalahan berat,” kata Romi. Karena itulah, Manajemen SS Media mengangap Hendro layak untuk di-PHK atau mengundurkan diri dari jabatannya.
Hendro yang dalam perundingan itu didampingi oleh Iman D. Nugroho, Sekretaris 1 AJI Surabaya hanya tersenyum, sembari meminta Romi menjelaskan apa definisi kesalahan berat yang bertabrakan dengan core bisnis SS Media itu. “Apa saya membuat lembaga broadcasting baru, karena secara legal formal, core bisnis SS Media adalah radio Suara Surabaya?” tanya Hendro. Romi tergagap. “Bukan itu, tapi lembaga penerbitan,” jawab Romi sembari menjelaskan bahwa keputusan itu diambil setelah tiga direksi SS Media, Errol Jonathans, Wahyu Widodo, Gati Irawarman, Herru Sholeh dan Romi sendiri.
Jawaban ini tergolong “aneh”. Keanehan pertama adalah “pelanggaran berat” yang dituduhkan ke Hendro tidak terdifinisi dengan pasti. Termasuk jenis media apa yang pernah diterbitkan dan dianggap bertabrakan dengan core business SS Media. Apalagi dalam sejarahnya, PT. Radio Fiskaria Jaya Suara Surabaya yang mengudara sejak 11 Juni 1983 ini dalam perkembangannya “hanya” melebarkan sayap pada dunia broadcasting dan online (SuaraSurabaya.net) semata. Kalau toh ada media massa jenis cetak, bernama Majalah Mossaik, sudah berhenti terbit pada pertengahan 2006.
“Pertanyaan saya belum terjawab, mana core business yang saya langgar? Apakah saya punya radio baru, atau punya radio dengan portal berita baru atau mendirikan majalah seperti Mossaik?” tanya Hendro. Lagi-lagi Romi tergagap. Romi tetap bersikukuh bahwa “pelanggaran berat”, sesuai keputusan direksi SS Media telah terindikasi dilakukan Hendro. “Mungkin kita berbeda persepsi, karena itulah SS Media membawa kasus ini ke Disnaker Surabaya,” jelasnya.
Sementara itu, Iman D. Nugroho yang diberi kesempatan bicara menekankan adanya penyelesaian yang adil dalam kasus SS Media –Hendro D. Laksono. Iman menyayangkan ketidakhadiran dua direktur lain yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan masalah ini. “Kalau Direktur Operasional Errol Jonathans dan Direktur Marketing Wahyu Widodo bahkan Direktur Utama Sutojo Soekomihardjo hadir, mungkin persoalannya jadi lebih cepat menemukan solusi,” kata Iman.***
Kontak Person:
1. Iman D. Nugroho (081.334.075.034)
2. Athoillah (081.7960.8037)
Recorfirm SS Media:
Romi Febriansyah (0855.300.85.00)
Selasa, 02 September 2008
Bipartit II Sengketa SS Media-Hendro Akan digelar di Kantor Radio SS
Penyelesaian kasus sengketa perburuhan antara Chief Editor Majalah Mossaik Hendro D Laksono dengan Suara Surabaya Media terus berlanjut. Setelah Biparti I yang digelar di kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Surabaya akhir Agustus lalu, Bipartit II akan dilaksanakan di kantor Suara Surabaya Media, Jl. Wonokitri Besar 40 C Surabaya, Rabu (10/09/08) pukul 15.00 WIB.
Dalam pertemuan itu, Hendro akan ditemani oleh AJI Surabaya dan LBH Surabaya. Sementara SS Media akan diwakili oleh tim Kuasa Hukum dan Rommy Febriansyah, Direktur Umum & Administrasi. Seperti diketahui Majalah Mossaik bernaung di bawah manajemen SS Media yang juga mengelola radio Suara Surabaya FM.
Seperti diberitakan sebelumnya, sengketa perburuhan antara Hendro dan SS Media ini berawal dari keinginan SS Media mem-PHK Hendro dengan alasan tindakan tidak profesional (mendirikan perusahaan di dalam perusahaan). Hendro menolak tuduhan sepihak dan semena-mena itu, dan meminta SS Media mem-PHK dengan alasan tutupnya Majalah Mossaik. Ganti SS Media yang bersikukuh pada pendiriannya. SS Media kemudian melaporkan kasus ini ke Disnaker Surabaya.
Di dampingi AJI Surabaya dan LBH Surabaya, Hendro yang sempat diskors oleh SS Media itu meladeni keinginan SS Media untuk menyelesaikan kasus ini melalui Disnaker. Sengketa perburuhan di SS Media memang bukan kali pertama terjadi. "Semoga ini yang terakhir dan tidak ada lagi sengketa perburuhan untuk teman-teman saya di SS Media maupun di perusahaan lain yang memposisikan buruh dengan tidak adil," kata Hendro.
Dalam pertemuan itu, Hendro akan ditemani oleh AJI Surabaya dan LBH Surabaya. Sementara SS Media akan diwakili oleh tim Kuasa Hukum dan Rommy Febriansyah, Direktur Umum & Administrasi. Seperti diketahui Majalah Mossaik bernaung di bawah manajemen SS Media yang juga mengelola radio Suara Surabaya FM.
Seperti diberitakan sebelumnya, sengketa perburuhan antara Hendro dan SS Media ini berawal dari keinginan SS Media mem-PHK Hendro dengan alasan tindakan tidak profesional (mendirikan perusahaan di dalam perusahaan). Hendro menolak tuduhan sepihak dan semena-mena itu, dan meminta SS Media mem-PHK dengan alasan tutupnya Majalah Mossaik. Ganti SS Media yang bersikukuh pada pendiriannya. SS Media kemudian melaporkan kasus ini ke Disnaker Surabaya.
Di dampingi AJI Surabaya dan LBH Surabaya, Hendro yang sempat diskors oleh SS Media itu meladeni keinginan SS Media untuk menyelesaikan kasus ini melalui Disnaker. Sengketa perburuhan di SS Media memang bukan kali pertama terjadi. "Semoga ini yang terakhir dan tidak ada lagi sengketa perburuhan untuk teman-teman saya di SS Media maupun di perusahaan lain yang memposisikan buruh dengan tidak adil," kata Hendro.
Senin, 01 September 2008
Usai Mewawancarai Ryan, Jurnalis Radar Mojokerto Diteror
Setelah berhasil mewawancarai tersangka kasus pembunuhan perantai Verry Idam Henyansyah atau Ryan di Sel Polda Metro Jaya, Jakarta, Jurnalis RADAR MOJOKERTO, JAWA POS Group, Jalaluddin Hambali diancam dan diteror. Berikut ini kronologi selengkapnya:
--------------------------
Kronologi Liputan:
Dari Jombang, Mengantar Keluarga,
Menjenguk Ryan di Tahanan Polda Metro
(16 hinga 18 Agustus 2008)
Bismillah..
Aku kenal dengan Siatun, 58, Achmad Sadikun, 62 dan Mulyo Wasis, 44 saat wawancara di mapolres, beberapa hari pada minggu pertama Agustus. Ketiganya adalah ibu, ayah dan kakak tiri Very Idham Henyansyah alias Ryan, 30. Ryan, Siatun dan Achmad tinggal di rumah di Dusun Maijo Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang Jombang. Wasis, guru SDN di Kecamatan Kesamben, tinggal bersama istri dan anaknya di Dusun Jeruk Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang. Wasis anak tunggal Siatun dari pernikahan perdananya dengan Sahlan. Keduanya berpisah pada tahun 1964, saat Wasis belum genap berusia setahun. Sahlan yang telah menikah lagi, kini tinggal di Kecamatan Bareng, Jombang. Sehari-hari, pagi hingga siang, berada di Pasar Bareng, bekerja sebagai tukang jahit sepatu, sandal dan payung.
Sejak Ryan dinyatakan penyidik polda metro sebagai tersangka pembunuh Heri Santoso pada 14 Juli 2008, orang tua Ryan sering dijadikan nara sumber berita. Ini berlanjut ketika keduanya menginap di Mapolres dan berlanjut di Mapolda Jatim mulai 1 Agustus untuk menjalani pemeriksaan. Saat penggalian 10 korban di belakang rumahnya pada 21 dan 28 Juli, orang tua Ryan belum menjalani pemeriksaan.
Saking seringnya diwawancarai, Siatun, makin ’’melek media’’. Bahwa komentarnya adalah sebuah komoditas yang bernilai bagi pers. Entah siapa yang memulai, pers atau Siatun, pemberian imbalan dalam beberapa kali wawancara akhirnya terjadi berulang kali. Kru TV ada yang memberi imbalan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setelah wawancara.
Saat berada di mapolres, Siatun merasa kesulitan finansial. Tidak punya pendapatan tetap. Satu-satunya sumber pendapatan, uang pensiun suaminya, sebagian besar terserap untuk melunasi angsuran pinjaman di BRI dan BTPN. Nilai sisa pinjaman di kedua bank itu ditaksir sekitar Rp 10 juta. Achmad memasuki purnatugas sebagai tenaga keamanan (satpam) di PG Djombang Baru pada 2005.
Pada 13 Agustus, Ryan diberitakan sakit hingga muntah darah dan harus menjalani rawat inap di RS Polri Kramat Jati. Orang tuanya menyatakan ingin menjenguk Ryan di Jakarta. Orang tua dan Wasis, terakhir kali bertemu Ryan ketika menjalani pemeriksaan di Mapolda Jatim pada 4 Agustus. Saat itu Ryan diboyong ke Jakarta. Orang tua dan kakak Ryan diinapkan di Mapolres Jombang. Keinginan orang tua Ryan itu disampaikan kepada Luluk, perempuan, warga Mojoagung Jombang. Luluk selama ini dikenal sejumlah pekerja pers di Jombang dan Mojokerto sebagai nara sumber informal. Luluk kenal dengan keluarga Ryan karena Wasis pernah berdomisili di Mojoagung. Keduanya pernah bertetangga beberapa tahun.
Luluk lantas menyampaikan kepada saya tentang keinginan itu. Keluarga Ryan tidak punya uang untuk membiayai perjalanan ke Jakarta. Sebagai jurnalis, aku melihat itu kesempatan baik untuk bertemu Ryan. Sebab, selama ini belum ada yang bisa menemui Ryan di tahanan. Tentu, cerita-cerita dari Ryan akan menarik untuk diberitakan, pikirku. Ide itu kusampaikan ke redaktur Jawa Pos dan langsung diiyakan. Kusampaikan pada Luluk, tentang komitmen untuk membiayai perjalanan itu. Bahwa aku akan meliput perjalanan itu. Segala beaya yang timbul selama perjalanan akan ditanggung Jawa Pos. Luluk menyampaikan hal itu kepada keluarga Ryan. Mereka, kata Luluk, sepakat. Kesepakatan itu kubuat melalui pembicaraan melalui ponsel.
16 Agustus lalu, pukul 17.00, kami bertujuh berangkat ke Jakarta. Naik panther, dua sopir menemaniku. Tiga lainnya adalah ortu dan kakak tiri Ryan. Satu lagi, Luluk. Keberangkatan ini diketahui oleh Kasat Reskrim Polres Jombang. Yang bersangkutan ditelepon anggota rombongan kami. Semula, Kasat Reskrim meminta ada anggota polres yang mengawal rombongan. Namun, akhirnya batal.
17 Agustus, pukul 8.00, mobil yang kami tumpangi melaju keluar Tol Cikampek melalui pintu keluar Tol Cawang. Kami menelepon perwira pertama Polda Metro. 28 Juli, orang tua Ryan pernah bertemu dengan kedua penghubung. Dalam pembicaraan melalui ponsel, kami langsung ditanya nama-nama anggota rombongan. Sesampainya di mapolda, pukul 10.00, kami langsung bertemu dengan petugas jasa di Jatanras. Kami diantar seseorang menuju ruang tahanan Narkoba. Dua sopir bertahan di mobil. Kami berlima masuk berbekal surat izin besuk yang telah dibuat. Rombongan kami diberi satu ID Card pembesuk.
Kami disilahkan masuk ke salah satu ruang kantor perwira menengah di dalam tahanan Narkoba. Itu setelah seorang bintara polwan memanggil Ryan melalui pengeras suara. Alat perekam digital kukalungkan didada. Kamera DSLR kucangklong. Satu kamera DSLR pocket ada di tas Luluk. Selama tiga jam berbincang, aku lebih banyak mendengar. Beberapa kali menimpali, ketika Ryan bercerita. Sebab, aku khawatir dia tersinggung. Selama di dalam ruangan, Ryan beberapa kali menghubungi pengacaranya. Menggunakan ponsel Wasis, Luluk dan ponselku. Namun, tidak nyambung. Kami kirim SMS. Minta agar pengacara menghubungi kami jika ponsel telah aktif.
Selama berada di dalam ruangan, petugas jaga berada di luar. Dua kali mereka masuk untuk mengecek kami. Sebentar, sekitar lima menitan, keluar lagi. Ryan mengabarkan telah menunjuk pengacara. Dia juga mengaku telah teken surat perjanjian awal untuk menerbitkan buku, membuat sinetron atau film. Nanti, 10 persen royaltinya untuk keluarga, begitu kata Ryan. ’’Saya ingin membuatkan ibu rumah, dari hasil itu,’’ tambah Ryan. Ryan juga bilang telah minta uang Rp 5 juta ke pengacara untuk uang saku ibunya.
Orang tua Ryan pun ingin tahu kontrak perjanjian itu. Disepakati, malam itu ibu Ryan minta bertemu pengacara untuk meminta surat kontrak. ’’Kami kan ahli warisnya,’’ kata Siatun. Pukul 13.10, bintara jaga masuk ruangan. Dia menginformasikan bahwa jam besuk telah habis. Nanti, kapan-kapan, bisa kesini lagi dengan pengacaranya, begitu kata dia. Sebelum berpisah, Ryan meminta ibunya untuk tinggal di Jakarta sambil menunggu waktu siding. Kata Ryan, pengacara telah menyiapkan tempat tinggal.
Kami berpisah, 10 menit sesudahnya. Kami langsung menuju penginapan, sebuah hotel kecil di daerah Slipi, Jakarta Selatan. Saat menuju hotel, pengacara Ryan menelepon. Kami ditawari penginapan, sebuah tempat tinggal. Tidak sebagus hotel, katanya. Tapi, kami tolak. Sebab, kami belum pernah bertemu dengannya. Kami merasa lebih nyaman beristirahat di hotel.
Semula kami berencana balik ke Jombang pada 18 Agustus, pagi. Namun, pada 17 Agt sore, keinginan itu berubah. Kami ingin balik malam itu juga. Pukul 19.00, dua pengacara Ryan, Kas dan Nyom menemui kami di hotel. Hampir dua jam kami berbincang di restoran hotel itu. Aku mengenalkan diri sebagai keluarga Ryan. Kedua pengacara mengaku tidak tahu dengan kontrak. Mereka bilang, hanya mengurusi masalah hukum. ’’Saya tidak punya uang untuk membayar pengacara,’’ kata Siatun. ’’Kami tidak akan mengirim invoice ke ibu. Percayalah,’’ kata Nyom.
Mereka berjanji akan minta salinan kontrak ke L, seseorang yang mengurus penerbitan buku, pembuatan sinetron atau film. Katanya, investornya dari Singapura. Karena tidak juga diberi, aku berusaha meminta. ’’Itu kan hak keluarga. Apalagi, anda sudah janji kepada Siatun akan menemui di mapolda metro. Tapi, anda tidak datang. Kok nggak meninggalkan pesan sama sekali jika tidak bias datang,’’ kataku. Siatun mengiyakan. Sebelum berangkat, Siatun dan Kas sempat bertelepon melalui ponsel. Siatun menceritakan pada 17 atau 18 Agt dia akan ke Jkt untuk menjenguk Ryan. Siatun tampak kecewa karena selama menjenguk di tahanan, pengacaranya tidak bisa datang tanpa pemberitahuan. Kas menjawab batrei ponselnya drop. Semalaman dia begadang. Lupa mengisi batrei. ’’Setelah subuh saya tidur dan baru bangun siang,’’ aku Kas. Dia minta maaf kepada kami.
Setelah bersalaman dan saling meminta maaf, kami pun berpisah. Sebelum berpisah, kami berikan alamat keluarga Ryan untuk korespondensi. Itu agar salinan surat kontrak dapat dikirim via pos.
Setelah makan malam pukuk 22.30 di KFC Tol Cikampek, kami pulang ke Jombang. Malam itu, aku sempatkan menulis satu berita. Isinya tentang pengakuan Ryan yang membunuh akibat ledakan emosi sesaat. ’’Saya seringkali baru sadar setelah ada mayat di depan. Kadang orang berpikir, mampukah aku menggotong mayat dengan berat badan lebih berat dariku? Nyatanya aku melakukannya,’’ kata Ryan. Itu kutipan langsung dari Ryan yang kujadikan berita.
Materi dan foto kukirim melalui Kantor Indopos di Jakarta. Sampai di Jombang, Senin (18/8) petang, pukul 17.00. Kutuliskan pertemuan keluarga dengan Ryan selama di tahanan. Ada dua tulisan feature yang dimuat di Jawa Pos edisi Selasa (19/8) dan Rabu (20/8). Tulisan itu juga dimuat di Indo Pos. Tulisan pertama tentang cerita Ryan yang tiap malam kini dipijiti tahanan lain. Itu setelah dia mengancam akan membunuh tahanan lain yang dianggapnya menghina Noval, pacarnya. Saat di tahanan bersamanya, tahanan tersebut melontarkan kata-kata,’’ wah bisa dipake gantian nih.’’ Ryan yang emosi langsung mendekatinya sambil mencengkeram krah bajunya sambil berkata: tak bunuh kamu! Semua tahanan, saat itu kata Ryan menunduk. Baju kotor Ryan juga dicucikan teman tahanan lain.
Pk 19.16, 21 Agt, Kas, PH Ryan, kirim SMS ke ponselku. Isinya: Jgn mrs sng n ktw dgn pnymaran anda jd sopir lalu bisa nyusup ked lm rian. Krn itu anda akn dpt mslh. N brt yg anda buat bkn brt mulia mlainkan brt bohong fitnah blk. Seandainya km tau anda wartawan, mk anda tdk dpt injk kaki di jmbg lg mlainkan anda akn gbg rian dlm thnan.
Saya jawab melalui SMS, jika keberatan, ajukan saja. Anda punya hak jawab. Jawa Pos wajib memuatnya.
Hrapan n tgs yg anda jalankan mergkan klein sy n klg, n anda terlalu jauh menekan klg. Kt tim PH tdk akan tnggal diam. Kt sama2 jalankan tgs, tp prfesi kitaberbeda. Anda telah menyrg profs kt n kt tdk trm it.
SMS lainnya: Kt ttp gnkn hak it, tp bkn brati anda dilndng olh uu it.
Saya forward SMS itu ke beberapa teman, termasuk ke redaktur, pemred JP serta Direktur Radar Mojokerto, malam itu juga.
Sekitar pukul 18.30, Sabtu, (30/8) Luluk telepon ke ponsel Achmad. Diterima laki-laki, ngakunya berpangkat mayor. Dia bilang ortu Ryan baik-baik saja dan diinapkan di ShangriLa Sby. Dia juga bilang ingin ketemu dengan Jalal. Luluk bilang, silakan dihubungi ponselnya saja. Nomor Jalal kan ada di memory hp achmad. //Sekitar dua hari sebelumnya saya telepon Siatun melalui ponsel Achmad. Itu setelah dua kali ponselku dpt missed call. Siatun bilang butuh uang karena tidak kerja. Dia berencana ke rumahku. Aku larang, sebab ini urusan kantor. Saya janji suatu saat akan ke rumahnya.//
Sabtu, (30/8) sore, Luluk tahu dari Wasis jika kedua ortu Ryan dibawa polisi ke Surabaya.
Selang 15 menit sesudahnya, Luluk dpt SMS dari ponsel Achmad. Isinya, jangan teror ibunya rian. Semuanya jd sulit krn km bw org yg namanya jalal.
Senin (1/9) pukul 8.05. Ponselku berdering, ditelepon oleh nomor: +62310000007. Selanjutnya, ada missed called dari nomor yang disembunyikan ID-nya. Karena tertidur, aku tidak tahu. (*)
Analisis: ada kemungkinan, setelah 3 tulisan di Koran JP dan Indopos diterbitkan, PH Ryan ditegur oleh Polda Metro. Sebab ada wartawan yang menyamar hingga bisa bertemu Ryan di tahanan. Apalagi, belakangan mencuat pengakuan Ryan tentang identitas Mr X yang dikubur di belakang rumahnya.
Tulisan ini dibuat untuk Jawa Pos dan kawan-kawan AJI.
Agar lebih akurat, tulisan ini patut diricek ke anggota rombongan lain, yang ikut ke Jakarta, 16-18 Agt.
Salam,
--------------------------
Kronologi Liputan:
Dari Jombang, Mengantar Keluarga,
Menjenguk Ryan di Tahanan Polda Metro
(16 hinga 18 Agustus 2008)
Bismillah..
Aku kenal dengan Siatun, 58, Achmad Sadikun, 62 dan Mulyo Wasis, 44 saat wawancara di mapolres, beberapa hari pada minggu pertama Agustus. Ketiganya adalah ibu, ayah dan kakak tiri Very Idham Henyansyah alias Ryan, 30. Ryan, Siatun dan Achmad tinggal di rumah di Dusun Maijo Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang Jombang. Wasis, guru SDN di Kecamatan Kesamben, tinggal bersama istri dan anaknya di Dusun Jeruk Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang. Wasis anak tunggal Siatun dari pernikahan perdananya dengan Sahlan. Keduanya berpisah pada tahun 1964, saat Wasis belum genap berusia setahun. Sahlan yang telah menikah lagi, kini tinggal di Kecamatan Bareng, Jombang. Sehari-hari, pagi hingga siang, berada di Pasar Bareng, bekerja sebagai tukang jahit sepatu, sandal dan payung.
Sejak Ryan dinyatakan penyidik polda metro sebagai tersangka pembunuh Heri Santoso pada 14 Juli 2008, orang tua Ryan sering dijadikan nara sumber berita. Ini berlanjut ketika keduanya menginap di Mapolres dan berlanjut di Mapolda Jatim mulai 1 Agustus untuk menjalani pemeriksaan. Saat penggalian 10 korban di belakang rumahnya pada 21 dan 28 Juli, orang tua Ryan belum menjalani pemeriksaan.
Saking seringnya diwawancarai, Siatun, makin ’’melek media’’. Bahwa komentarnya adalah sebuah komoditas yang bernilai bagi pers. Entah siapa yang memulai, pers atau Siatun, pemberian imbalan dalam beberapa kali wawancara akhirnya terjadi berulang kali. Kru TV ada yang memberi imbalan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta setelah wawancara.
Saat berada di mapolres, Siatun merasa kesulitan finansial. Tidak punya pendapatan tetap. Satu-satunya sumber pendapatan, uang pensiun suaminya, sebagian besar terserap untuk melunasi angsuran pinjaman di BRI dan BTPN. Nilai sisa pinjaman di kedua bank itu ditaksir sekitar Rp 10 juta. Achmad memasuki purnatugas sebagai tenaga keamanan (satpam) di PG Djombang Baru pada 2005.
Pada 13 Agustus, Ryan diberitakan sakit hingga muntah darah dan harus menjalani rawat inap di RS Polri Kramat Jati. Orang tuanya menyatakan ingin menjenguk Ryan di Jakarta. Orang tua dan Wasis, terakhir kali bertemu Ryan ketika menjalani pemeriksaan di Mapolda Jatim pada 4 Agustus. Saat itu Ryan diboyong ke Jakarta. Orang tua dan kakak Ryan diinapkan di Mapolres Jombang. Keinginan orang tua Ryan itu disampaikan kepada Luluk, perempuan, warga Mojoagung Jombang. Luluk selama ini dikenal sejumlah pekerja pers di Jombang dan Mojokerto sebagai nara sumber informal. Luluk kenal dengan keluarga Ryan karena Wasis pernah berdomisili di Mojoagung. Keduanya pernah bertetangga beberapa tahun.
Luluk lantas menyampaikan kepada saya tentang keinginan itu. Keluarga Ryan tidak punya uang untuk membiayai perjalanan ke Jakarta. Sebagai jurnalis, aku melihat itu kesempatan baik untuk bertemu Ryan. Sebab, selama ini belum ada yang bisa menemui Ryan di tahanan. Tentu, cerita-cerita dari Ryan akan menarik untuk diberitakan, pikirku. Ide itu kusampaikan ke redaktur Jawa Pos dan langsung diiyakan. Kusampaikan pada Luluk, tentang komitmen untuk membiayai perjalanan itu. Bahwa aku akan meliput perjalanan itu. Segala beaya yang timbul selama perjalanan akan ditanggung Jawa Pos. Luluk menyampaikan hal itu kepada keluarga Ryan. Mereka, kata Luluk, sepakat. Kesepakatan itu kubuat melalui pembicaraan melalui ponsel.
16 Agustus lalu, pukul 17.00, kami bertujuh berangkat ke Jakarta. Naik panther, dua sopir menemaniku. Tiga lainnya adalah ortu dan kakak tiri Ryan. Satu lagi, Luluk. Keberangkatan ini diketahui oleh Kasat Reskrim Polres Jombang. Yang bersangkutan ditelepon anggota rombongan kami. Semula, Kasat Reskrim meminta ada anggota polres yang mengawal rombongan. Namun, akhirnya batal.
17 Agustus, pukul 8.00, mobil yang kami tumpangi melaju keluar Tol Cikampek melalui pintu keluar Tol Cawang. Kami menelepon perwira pertama Polda Metro. 28 Juli, orang tua Ryan pernah bertemu dengan kedua penghubung. Dalam pembicaraan melalui ponsel, kami langsung ditanya nama-nama anggota rombongan. Sesampainya di mapolda, pukul 10.00, kami langsung bertemu dengan petugas jasa di Jatanras. Kami diantar seseorang menuju ruang tahanan Narkoba. Dua sopir bertahan di mobil. Kami berlima masuk berbekal surat izin besuk yang telah dibuat. Rombongan kami diberi satu ID Card pembesuk.
Kami disilahkan masuk ke salah satu ruang kantor perwira menengah di dalam tahanan Narkoba. Itu setelah seorang bintara polwan memanggil Ryan melalui pengeras suara. Alat perekam digital kukalungkan didada. Kamera DSLR kucangklong. Satu kamera DSLR pocket ada di tas Luluk. Selama tiga jam berbincang, aku lebih banyak mendengar. Beberapa kali menimpali, ketika Ryan bercerita. Sebab, aku khawatir dia tersinggung. Selama di dalam ruangan, Ryan beberapa kali menghubungi pengacaranya. Menggunakan ponsel Wasis, Luluk dan ponselku. Namun, tidak nyambung. Kami kirim SMS. Minta agar pengacara menghubungi kami jika ponsel telah aktif.
Selama berada di dalam ruangan, petugas jaga berada di luar. Dua kali mereka masuk untuk mengecek kami. Sebentar, sekitar lima menitan, keluar lagi. Ryan mengabarkan telah menunjuk pengacara. Dia juga mengaku telah teken surat perjanjian awal untuk menerbitkan buku, membuat sinetron atau film. Nanti, 10 persen royaltinya untuk keluarga, begitu kata Ryan. ’’Saya ingin membuatkan ibu rumah, dari hasil itu,’’ tambah Ryan. Ryan juga bilang telah minta uang Rp 5 juta ke pengacara untuk uang saku ibunya.
Orang tua Ryan pun ingin tahu kontrak perjanjian itu. Disepakati, malam itu ibu Ryan minta bertemu pengacara untuk meminta surat kontrak. ’’Kami kan ahli warisnya,’’ kata Siatun. Pukul 13.10, bintara jaga masuk ruangan. Dia menginformasikan bahwa jam besuk telah habis. Nanti, kapan-kapan, bisa kesini lagi dengan pengacaranya, begitu kata dia. Sebelum berpisah, Ryan meminta ibunya untuk tinggal di Jakarta sambil menunggu waktu siding. Kata Ryan, pengacara telah menyiapkan tempat tinggal.
Kami berpisah, 10 menit sesudahnya. Kami langsung menuju penginapan, sebuah hotel kecil di daerah Slipi, Jakarta Selatan. Saat menuju hotel, pengacara Ryan menelepon. Kami ditawari penginapan, sebuah tempat tinggal. Tidak sebagus hotel, katanya. Tapi, kami tolak. Sebab, kami belum pernah bertemu dengannya. Kami merasa lebih nyaman beristirahat di hotel.
Semula kami berencana balik ke Jombang pada 18 Agustus, pagi. Namun, pada 17 Agt sore, keinginan itu berubah. Kami ingin balik malam itu juga. Pukul 19.00, dua pengacara Ryan, Kas dan Nyom menemui kami di hotel. Hampir dua jam kami berbincang di restoran hotel itu. Aku mengenalkan diri sebagai keluarga Ryan. Kedua pengacara mengaku tidak tahu dengan kontrak. Mereka bilang, hanya mengurusi masalah hukum. ’’Saya tidak punya uang untuk membayar pengacara,’’ kata Siatun. ’’Kami tidak akan mengirim invoice ke ibu. Percayalah,’’ kata Nyom.
Mereka berjanji akan minta salinan kontrak ke L, seseorang yang mengurus penerbitan buku, pembuatan sinetron atau film. Katanya, investornya dari Singapura. Karena tidak juga diberi, aku berusaha meminta. ’’Itu kan hak keluarga. Apalagi, anda sudah janji kepada Siatun akan menemui di mapolda metro. Tapi, anda tidak datang. Kok nggak meninggalkan pesan sama sekali jika tidak bias datang,’’ kataku. Siatun mengiyakan. Sebelum berangkat, Siatun dan Kas sempat bertelepon melalui ponsel. Siatun menceritakan pada 17 atau 18 Agt dia akan ke Jkt untuk menjenguk Ryan. Siatun tampak kecewa karena selama menjenguk di tahanan, pengacaranya tidak bisa datang tanpa pemberitahuan. Kas menjawab batrei ponselnya drop. Semalaman dia begadang. Lupa mengisi batrei. ’’Setelah subuh saya tidur dan baru bangun siang,’’ aku Kas. Dia minta maaf kepada kami.
Setelah bersalaman dan saling meminta maaf, kami pun berpisah. Sebelum berpisah, kami berikan alamat keluarga Ryan untuk korespondensi. Itu agar salinan surat kontrak dapat dikirim via pos.
Setelah makan malam pukuk 22.30 di KFC Tol Cikampek, kami pulang ke Jombang. Malam itu, aku sempatkan menulis satu berita. Isinya tentang pengakuan Ryan yang membunuh akibat ledakan emosi sesaat. ’’Saya seringkali baru sadar setelah ada mayat di depan. Kadang orang berpikir, mampukah aku menggotong mayat dengan berat badan lebih berat dariku? Nyatanya aku melakukannya,’’ kata Ryan. Itu kutipan langsung dari Ryan yang kujadikan berita.
Materi dan foto kukirim melalui Kantor Indopos di Jakarta. Sampai di Jombang, Senin (18/8) petang, pukul 17.00. Kutuliskan pertemuan keluarga dengan Ryan selama di tahanan. Ada dua tulisan feature yang dimuat di Jawa Pos edisi Selasa (19/8) dan Rabu (20/8). Tulisan itu juga dimuat di Indo Pos. Tulisan pertama tentang cerita Ryan yang tiap malam kini dipijiti tahanan lain. Itu setelah dia mengancam akan membunuh tahanan lain yang dianggapnya menghina Noval, pacarnya. Saat di tahanan bersamanya, tahanan tersebut melontarkan kata-kata,’’ wah bisa dipake gantian nih.’’ Ryan yang emosi langsung mendekatinya sambil mencengkeram krah bajunya sambil berkata: tak bunuh kamu! Semua tahanan, saat itu kata Ryan menunduk. Baju kotor Ryan juga dicucikan teman tahanan lain.
Pk 19.16, 21 Agt, Kas, PH Ryan, kirim SMS ke ponselku. Isinya: Jgn mrs sng n ktw dgn pnymaran anda jd sopir lalu bisa nyusup ked lm rian. Krn itu anda akn dpt mslh. N brt yg anda buat bkn brt mulia mlainkan brt bohong fitnah blk. Seandainya km tau anda wartawan, mk anda tdk dpt injk kaki di jmbg lg mlainkan anda akn gbg rian dlm thnan.
Saya jawab melalui SMS, jika keberatan, ajukan saja. Anda punya hak jawab. Jawa Pos wajib memuatnya.
Hrapan n tgs yg anda jalankan mergkan klein sy n klg, n anda terlalu jauh menekan klg. Kt tim PH tdk akan tnggal diam. Kt sama2 jalankan tgs, tp prfesi kitaberbeda. Anda telah menyrg profs kt n kt tdk trm it.
SMS lainnya: Kt ttp gnkn hak it, tp bkn brati anda dilndng olh uu it.
Saya forward SMS itu ke beberapa teman, termasuk ke redaktur, pemred JP serta Direktur Radar Mojokerto, malam itu juga.
Sekitar pukul 18.30, Sabtu, (30/8) Luluk telepon ke ponsel Achmad. Diterima laki-laki, ngakunya berpangkat mayor. Dia bilang ortu Ryan baik-baik saja dan diinapkan di ShangriLa Sby. Dia juga bilang ingin ketemu dengan Jalal. Luluk bilang, silakan dihubungi ponselnya saja. Nomor Jalal kan ada di memory hp achmad. //Sekitar dua hari sebelumnya saya telepon Siatun melalui ponsel Achmad. Itu setelah dua kali ponselku dpt missed call. Siatun bilang butuh uang karena tidak kerja. Dia berencana ke rumahku. Aku larang, sebab ini urusan kantor. Saya janji suatu saat akan ke rumahnya.//
Sabtu, (30/8) sore, Luluk tahu dari Wasis jika kedua ortu Ryan dibawa polisi ke Surabaya.
Selang 15 menit sesudahnya, Luluk dpt SMS dari ponsel Achmad. Isinya, jangan teror ibunya rian. Semuanya jd sulit krn km bw org yg namanya jalal.
Senin (1/9) pukul 8.05. Ponselku berdering, ditelepon oleh nomor: +62310000007. Selanjutnya, ada missed called dari nomor yang disembunyikan ID-nya. Karena tertidur, aku tidak tahu. (*)
Analisis: ada kemungkinan, setelah 3 tulisan di Koran JP dan Indopos diterbitkan, PH Ryan ditegur oleh Polda Metro. Sebab ada wartawan yang menyamar hingga bisa bertemu Ryan di tahanan. Apalagi, belakangan mencuat pengakuan Ryan tentang identitas Mr X yang dikubur di belakang rumahnya.
Tulisan ini dibuat untuk Jawa Pos dan kawan-kawan AJI.
Agar lebih akurat, tulisan ini patut diricek ke anggota rombongan lain, yang ikut ke Jakarta, 16-18 Agt.
Salam,
Langganan:
Postingan (Atom)
Disclaimer
AJI Surabaya adalah organisasi yang berdiri di bawah AJI Indonesia di Jakarta. Organisasi profesi yang berbasis serikat pekerja ini berkonsentrasi pada kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan profesionalitas jurnalis.
:: 2008, Allright reserved by AJI Surabaya
:: 2008, Allright reserved by AJI Surabaya